Pertanian Runtuh, Negara (Bisa) Jatuh
Beberapa bulan yang lalu (sebenarnya udah lama banget, ada
kali 5 bulan lamanya) saya terpilih
untuk turut serta di dalam sebuah acara internasional di Kanada, membahas
isu-isu pertanian dan pengentasan
kelaparan dunia (Untuk kronologis lengkapnya hingga saya bisa berkunjung ke
Kanada, akan saya ceritakan di post selanjutnya, ya)
. Pengalaman selama disana jujur saja, banyak membuka wawasan sekaligus “penyadaran” kepada saya mengenai betapa
pentingnya sektor pertanian dan peran para petani bagi kelangsungan hidup sebuah
bangsa. Kalau boleh saya ibaratkan, pertanian itu punya posisi yang sama
pentingnya dengan senjata nuklir. Serius, SENJATA NUKLIR !( Sampai saya Capslock nih).
Namun sebelum membahasa kaintannya pertanian dengan senjata
nuklir, kita bahas dulu mengenai petani. Kalo bicara petani, tidak hanya di
Indonesia kok, tapi hampir mayoritas masyarakat
dunia di negara-negara lain juga menempatkan profesi ini sebagai
pekerjaan "Kasta Kedua". Orang-orang cenderung menganggap bekerja dikantor
sebagai manajer ataupun direktur jauh lebih bergengsi dibandingkan menjadi petani.
Kalau secara jumlah gaji untuk saat ini, saya setuju jika
jadi manajer dan direktur itu lebih baik. Tapi bila kondisinya semua masyarakat dan juga
pemerintah memberi perhatian lebih untuk sektor pertanian, saya yakin orang-orang
yang memutuskan jadi petani tidak ada yang miskin. Minimal sandang, pangan dan
papan yang standar untuk mereka, bisa terpenuhi.
Sayangnya, stigma seperti ini yang membuat jumlah petani di
berbagai negara mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Contoh di Indonesia ,
menurut Badan Pusat Statistik (BPS),
jumlah petani pada 2013 hanya 31,7 Juta orang. Menurun sebanyak 5,1 juta orang
dari tahun 2012. Menurut kepala BPS, Suryamin, penurunan ini disebabkan oleh
banyaknya petani yang menjual lahannya untuk dialihfungsikan.
Yup, salah satu masalah terbesar sektor pertanian di negara
kita tercinta adalah tingkat konversi yang
tinggi dari lahan pertanian menjadi pemukiman ataupun industri . Pertumbuhan
penduduk menyebabkan kebutuhan akan rumah hunian serta tuntutan ekspansi bisnis
meningkat drastis. Untuk memenuhi permintaan yang terus tumbuh, lahan pertanian
pun ikut menjadi sasaran.
Fenomena berkurangnya
lahan pertanian ini lah yang membuat sektor ini bisa menyebabkan bencana yang
dahsyat seperti bom nuklir. Analogi
mudahnya, lahan yang berkurang menyebabkan produksi pangan berkurang. Sedangkan
permintaaan tersu meningkat. Hal ini berpotensi menyebabkan kelaparan. Untuk
menghidarinya, pemerintah harus menutupi kekurangan suplai pangan dengan
memberlakukan impor, yang artinya menggantungkan “nasib” kita kepada pihak
asing. Otomatis jika pihak asing ingin “iseng” ataupun sampai hendak
menghancurkan negara kita, mereka dapat dengan mudah melakukannya dengan
mempermainkan harga dan jumlah komoditi pangan yang ada.
Sebagai bukti yang nyata, tengoklah kejadian saat harga
kedelai melambung tinggi hingga Rp 9000 an per Kilogram pada September 2013
lalu. Begitu bahan baku untuk tahu dan tempe ini naik gila-gilaan, semua
langsung tersentak. Pemerintah dibuat bingung, pengusaha kedelai pun banyak
yang gulung tikar dan konsumen kehilangan tahu serta tempe di pasaran. Sebagai
informasi saja, 75 % kebutuhan kedelai negara kita ini adalah impor. Sehingga
begitu nilai tukar kita melemah terhadap dolar, semua harga langsung naik.
Bila produksi pangan
nasional kita mampu mencukupi permintaan domestik, kita tidak perlu khawatir
bila harga pangan di pasar internasional mengalami kenaikan. Karena sumber daya
yang digunakan untuk produksi tersedia di dalam negeri. Apalagi bertani
merupakan keahlian alami bangsa kita, sehingga bukanlah hal yang sulit untuk menjadi kenyataan. Stabilitas
negara pun bisa terjaga , agar energi bangsa kita dapat diarahkan ke urusan
lainnya yang lebih penting.
Poin yang saya sebutkan diatas itulah yang bisa menjadi
sebuah senjata nuklir. Yang saya amati selama di Kanada, sebagai negara maju,
pertanian disana begitu serius dikembangkan. Bahkan mereka pun punya produsen
traktor canggih bermerek “John Deere” yang mampu mengolah lahan pertanian
dengan berbasis Global Positioning System (GPS). Traktor yang dapat
dikendalikan secara otomatis seperti robot pun juga diproduksi. Tentunya untuk
mempermudah pekerjaan para petani.
Yap, Kanada nampaknya sadar bahwa di masa depan bukan hanya
militer dan sistem persenjataan canggih saja yang memainkan peran penting untuk
memenangkan perang, tapi juga ketahanan pangan.
Nah, sekarang Indonesia sebagai salah satu negara agraris
terbesar di dunia sudah menyadari ini? Jangan sampai kita menyesal di kemudian
hari. Semoga seluruh elemen masyarakat, sistem dan juga pemerintahan mau
bahu-membahu untuk memajukan kembali sektor pertanian yang memang potensi
terbesar dari negeri kita yang tercinta ini. Amiin.
Post a Comment