“Don’t underestimate
the details, it can mislead you to find the best solution”
- Woka Aditama -
The quotes above are coming , rightly after I came back from
Canada for attending Youth Agricultural Summit last year. A week of discussion there aboutfood insecurity , had open my eyes that a
simple issue such as gender equality, could be so impactful to maximize world
agricultural productivity. Yes, its not talking about complicated topics such
as high - technology for farmers or any scientific Genetically Modified (GMO)
who only could be done by particular experts. And today, commemorate International Women’s Day
on March 8, I thinkit’s a perfect
timeto talk about promoting women's role
in agriculture.
The meme above approximately describe the ‘principle’ thing
in this article. So if you get lost about the topics, don’t worry.Just see back on that meme.
Many solutions from worldwide experts and world leaders have been implemented to overcome a poverty and increase food
security. Mostly of those solutions are focus to developing countries in terms
to increase yields in agricultural
production. Because this improvement will make affect in improvement of food
security and at once elevate farmers economy welfare itself.
But, have it ever cross in your mind that all those great
solutions might be a part of problems itself in agriculture?
Beberapa bulan yang lalu (sebenarnya udah lama banget, ada
kali 5 bulan lamanya)saya terpilih
untuk turut serta di dalam sebuah acara internasional di Kanada, membahas
isu-isupertanian dan pengentasan
kelaparan dunia (Untuk kronologis lengkapnya hingga saya bisa berkunjung ke
Kanada, akan saya ceritakan di post selanjutnya, ya)
. Pengalaman selama disana jujur saja, banyak membuka wawasan sekaligus “penyadaran” kepada saya mengenai betapa
pentingnya sektor pertanian dan peran para petani bagi kelangsungan hidup sebuah
bangsa. Kalau boleh saya ibaratkan, pertanian itu punya posisi yang sama
pentingnya dengan senjata nuklir. Serius, SENJATA NUKLIR !( Sampai saya Capslock nih).
Melihat perkembangan technopreneur-technopreneur
muda di Indonesia, dari tahun ke tahun terus menunjukan tren yang positif. Bisnis-bisnis
baru berbasis teknologi (startup company)
banyak bermunculan saat ini. Technopreneur sendiri memang sangat identik dengan
kaum muda. Hal ini bisa dilihat dari berbagai ajang maupun program pengembangan
technopreneurship yang ditujukan bagi pemuda dengan kisaran usia muda antara 17
hingga 40 tahun-an. Salah satu buktinya adalah “Kompetisi Technopreneurship Pemuda” yang digagas oleh Kementrian Riset dan
Teknologi Republik Indonesia pada tahun 2012 lalu.
Tapi bila kita cermati secara lebih teliti, bukankah
ajang-ajang tersebut justru memberi kesan bahwa hanya mereka yang masuk
kategori “generasi muda” saja yang dapat menjadi seorang technopreneur? Lalu bagaimana para pengusaha kecil dan menengah
yang sudah membuka bisnis puluhan tahun, apakah mereka dianggap tidak mampu
untuk menjadi technopreneur di masa
kini? Sebelumnya, tulisan ini saya buat dengan didasari niat untuk memberi
masukan bagi perkembangan technopreneurship
di Indonesia dengan mengkritisi fenomena yang ada.
Technopreneur sendiri menurut definisi dari Tim
Lab Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, merupakan “gabungan dari
TEKNOLOGI (kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi) dengan KEWIRAUSAHAAN
(seseorang/unit yang mampu bekerja sendiri untuk mendatangkan keuntungan
melalui proses bisnis/usaha)”. Penerapan teknologi dalam bisnis memungkinkan
peningkatan produktivitas, kemudahan serta memberikan nilai tambah pada suatu
bisnis.
Tidak pernah saya menyangka, sehari setelah tulisan saya di-publish oleh panitia #Kompetiblog2013 Neso Indonesia di blog mereka, artikel saya berjudul "Superbus: Inovasi Super Brilian dari Belanda" langsung terpilih sebagai Artikel van de dag (Inggris : Article of the day) untuk tanggal 30 April 2013.
Jujur saja, saya sangat terkejut sekaligus gembira. Mengingat jumlah artikel peserta yang mencapai 100 artikel pada tanggal tersebut, tentu bukanlah hal yang mudah untuk dapat menjadi Artikel van de dag. Sebetulnya saya mengirim 3 artikel untuk kompetisi ini dan tentu tidaklah salah kalau saya berharap, 2 artikel lainnya dapat terpilih sebagai Artikel van de dag di kemudian hari (hhe, boleh dong berharap :D).
Oh iya temen-temen bisa membaca artikel-artikel yang telah terpilih sebagai Artikel van de dag di http://www.nesoindonesia.or.id/info-praktis/kompetiblog/artikel-van-de-dag sekaligus untuk mengetahui, apasih Kompetiblog2013 ini. Jangan lupa untuk membaca dan berkomentar di artikel-artikel saya ya :) Terima Kasih.
Kemajuan teknologi dan inovasi yang tiada henti di Belanda, ternyata
tidak mengurangi jiwa sosial dan rasa kepedulian masyarakatnya terhadap sesama,
terutama kepada kaum difabel, yaitu mereka yang memiliki keterbatasan dalam hal
fisik ataupun mental.
Monique de Wilt
Masyarakat Belanda sadar bahwa kecanggihan
teknologi yang dicapai umat manusia saat ini, banyak yang belum dapat dirasakan
oleh kaum difabel karena teknologi-teknologi tersebut belum mengakomodasi
keterbatasan yang mereka miliki. Salah satunya terjadi pada kaum tuna netra. Di
saat manusia kini sudah dapat menjelajahruang angkasa, kaum tuna netra masih harus menggunakan tongkat kayu
biasa untuk menuntunnya berjalan. Keprihatinan terhadap hal ini menginspirasi
seorang lulusan Delft University of Technology yang juga seorang atlet lompat
galah Belanda, Monique de Wilt untuk membangun konsep I-Cane.
Logo I-Cane
Interactive Cane atau I-Cane
sendiri difokuskan untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh anjing
penuntun tuna netra. Anjing penuntun memiliki kemampuan dalam membantu tuna
netra menghindari halangan yang ada di jalan, namun tidak mampu untuk mengenali
nama lokasi maupun rute yang dilaluinya. Hal ini menarik seorang social entrepreneur, Huub Grooten untuk membantu de Wilt
merealisasikan dan mengembangkan I-Cane.
Anjing Penuntun Memiliki Keterbatasan
Penerapkan
teknologi tactile arrow pada I-Cane menjadi awal kerjasama mereka
berdua. Hal ini juga menandai didirikannya lembaga non-profit , I-Cane Foundation di bawah inisiasi Huub
Grooten sendiri yang kemudian menjadi I-Cane Social
Technology BV pada
2008untuk
membantu pengembangan, distribusi serta pemasaran I-Cane secara lebih terencana.
Tactile arrow sendiri adalah tombol bergerak yang diposisikan pada pegangan
tongkat dimana ibu jari berada. Sistem ini memungkinkan untuk memberi petunjuk arah
jalan kepada penggunanya untuk menghindari halangan di depan melalui perputaran
secara otomatis dari tactile arrow. Teknologimengandalkan kepekaan indera perasa
pada ibu jari penggunanya.
Simulasi Penggunaan I-Cane
Tactile arrow juga terintegrasi dengan inertial sensor (sensor dengan kemampuan pendeteksi gerak) yang
berada di bagian depan tongkat yang berfungsi mendeteksi halangan yang ada.
Tampilan I-Cane
Untuk
navigasinya, I-Cane dilengkapi
dengan sistem Galileo yang jauh lebih
akurat daripada menggunakan Global
Positioning System(GPS). Ini berguna bagi kaum tuna netra untukmengetahui posisi mereka secara tepat, seperti
di toko apa dia sedang berada atau sedang berada di rumah nomor berapa posisinya
saat itu. Semua informasi dari sistem tersebut akan berupa audio atau suara yang dapat ditransmisikan pada earphone yang digunakan oleh penggunanya.
Proyek
I-Cane pun mendapat perhatian yang
luar biasa dari berbagai institusi penelitian dan perusahaan, baik pemerintah
maupun swasta di Belanda. Dana pengembangan
yang mencapai EUR 1.385.600 pun sempat menjadi
kendala. Tapi manfaat I-Cane yang amat
besar bagi kaum tuna netra di seluruh dunia, nampaknya sukses mengajak banyak
pihak ikut serta dalam membiayai serta memberikan bimbingan teknikal untuk pengembangannya.
Bahkan pada 2012, I-Cane menjadi
salah satu finalis dalam RegioStar Award,
sebuah penghargaan bagi karya inovatif di daratan eropa.
Instansi-Instansi Yang Ikut Membiayai Proyek I-Cane
Instansi-Instansi Yang Memberi Bimbingan Teknis Pada Proyek I-Cane
I-Cane telah menjadi sebuah bukti nyata komitmen
pemerintah dan masyarakat Belanda dalam menjunjung nilai-nilai Hak Asasi
Manusia, terutama kepada kaum difabel. Penghapusan diskriminasi terhadap kaum
difabel pun terus dilakukan tidak hanya melalui retorika semata, tetapi juga
melaluipembangunan fasilitas serta inovasi
teknologi untuk mempermudah aktivitas mereka. Hal ini tentu membuat kita
berkaca diri dan bertanya, apakah Indonesia saat ini sudah mampu memenuhi
hak-hak para kaum difabel yang ada?